Efek Internet dan Orang Kaya Baru

Belum lama ini, majalah Forbes kembali merilis peringkat orang-orang kaya sejagat. Yang menarik tahun ini, munculnya Robin Li sebagai manusia terkaya di China. Dia juga menjadi satu-satunya orang kaya China yang berhasil menyodok ke jajaran elite “Top 100″ dunia.

Robin Li bukanlah juragan tembakau atau kelapa sawit sebagaimana para taipan asal Indonesia. Kekayaannya bersumber dari Baidu, mesin pencari internet asli buatan China. Di negara tersebut, Baidu sukses menjungkalkan dominasi Google. Hasilnya manis, pundi-pundi kekayaan Li ikut menggelembung menjadi 9,4 miliar dollar AS tahun ini.

Internet telah melahirkan banyak orang kaya baru di dunia. Di papan atas, selain duet Sergei Brin dan Larry Page pendiri Google, ada juga Mark Zuckerberg dan kawan-kawan yang membesarkan Facebook. Kadang-kadang, membaca kisah mereka tak ubahnya sebuah dongeng. Kaya raya dalam tempo relatif singkat, di usia masih muda, dan tak kalah penting, kekayaan itu bukanlah berasal dari warisan.

E-commerce dan Periklanan
Setelah ambruk dekade lalu, perusahaan teknologi berbasis internet kini menjadi primadona kembali. Para investor berlomba membenamkan modal dalam jumlah besar. Harapannya, apalagi kalau bukan, ikut terkerek menjadi warga kaya dunia dalam waktu singkat.

Google yang didirikan tahun 1996, memberikan bukti akan hal itu. Saham perdananya ditawarkan seharga 85 dollar AS per lembar pada 2004. Kini, sahamnya diperjualbelikan di kisaran 570 dollar AS. Jika dibandingkan dengan Garuda Indonesia, maskapai bintang empat yang telah menerbangi dunia selama puluhan tahun itu, nilai sahamnya tersebut barangkali ibarat bumi dan langit.

Dari mana Google mencari laba? Biasanya, tak banyak disadari pengguna awam, pendapatan Google sebenarnya diperoleh dari iklan kontekstual di bagian atas dan samping mesin pencarinya. Tahun lalu, raksasa mesin pencari ini membukukan pendapatan sebesar 30 miliar dollar AS, dengan komposisi 90 persen lebih diperoleh dari periklanan tersebut.

Selain penempatan iklan di halaman hasil pencarian dan beragam aplikasi yang mereka sediakan, Google juga bekerjasama dengan pihak ketiga untuk menayangkan iklan serupa. Kini, sulit menemukan situs online, media besar atau sekedar blog, tanpa disisipi iklan milik jaringan Google. Kerjasama ini pula, seperti ditulis laporan khusus Kontan, telah menciptakan “orang kaya baru” di Indonesia dengan penghasilan hingga ratusan juta rupiah per bulan dari internet.

Selain dari kue periklanan, internet juga menawarkan “jalan pintas” untuk kaya lewat jalur ecommerce. Jeff Bezos yang merintis toko online Amazon, merupakan salah satu legenda hidupnya. Sangat beruntung, dia menjadi orang terkaya dunia ke-30 tahun ini.

Kondisi Lokal
Indonesia kini sedang menanti orang kaya baru yang lahir dari rahim internet. Orang kaya baru yang menggali kekayaan dengan tidak meracuni rakyat pelan-pelan dengan rokok, tidak membabat hutan dan merusak perut bumi.

Benih-benihnya sudah tampak, seperti bermunculannya banyak perusahaan baru –biasa disebut start up– yang menawarkan berbagai aplikasi dan layanan berbasis web. Salah satu yang membuat gebrakan adalah Koprol.com, situs jejaring sosial lokal berbasis lokasi. Sayangnya, situs ini kemudian dicaplok Yahoo! sehingga memupus harapan menjadi sebuah brand lokal yang mandiri dan kuat dengan menggandeng investor baru.

Meski tidak terlalu ingar bingar, pertarungan berebut tahta yang terbesar di internet juga sedang terjadi. Telkom lewat anak perusahaannya sedang tertatih-tatih memoles ulang Plasa.com, sedangkan Grup MNC menggandeng situs ecommerce terbesar di Jepang, Rakuten. Opsi membesarkan beberapa start up lokal di jalur ecommerce agaknya kurang menarik perhatian kedua perusahaan besar ini.

Meski memiliki potensi yang besar, namun pasar internet dan lingkungan bisnis di negeri ini masih memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, karena masih didominasi “konsumen 140 karakter”. Penetrasi internet yang relatif cepat ditengarai terutama disokong oleh maraknya penggunaan telepon seluler untuk mengaksesnya. Akibatnya, Facebook dan Twitter begitu digandrungi, tetapi telepon seluler jelas kurang nyaman untuk melakukan transaksi online.

Kedua, masih rendahnya trust di dunia maya. Meski ada belasan juta pemilik kartu kredit, namun penggunaannya untuk transaksi online masih belum memasyarakat karena banyak orang masih khawatir dengan keamanannya. Akibatnya, meski kurang praktis, pembayaran lewat transfer bank masih menjadi pilihan yang dianggap lebih aman dalam bertransaksi.

Ketiga, kurang tersedianya modal ventura. Agaknya, “dot com bubble” yang terjadi satu dekade lalu belum sepenuhnya punah dari ingatan para pemilik modal. Keterbatasan modal menyebabkan banyak gagasan segar tidak bisa tumbuh dan dikembangkan secara optimal.

Meski terdapat faktor kontrol internet oleh pemerintah China, namun keberhasilan Robin Li jelas membuktikan, konteks lokal seperti perbedaan bahasa dapat dijadikan kekuatan untuk membangun sekaligus mematahkan dominasi mesin pencari dan situs jejaring sosial yang beroperasi global. Alhasil, belajarlah sampai ke negeri China untuk menjadi orang kaya baru di era internet.

Sumber: KOMPASiana

0 comments:

Post a Comment